yang punya blog baik hati dan tidak sombong

Selasa, 17 Januari 2012

Ali sayang Bapak!

Praaaakkkkkk...... tangan kanan itu mendarat di pipi seorang wanita setengah baya yang terisak. Spontan aku berlari mendorong seorang lelaki yang perawakannya tampak lebih tua dari wanita itu. “Pak, jangan sakiti ibu lagi” dengan terisak aku bersusah payah melindungi wanitu tua itu. Entah mengapa akhir akhir ini bapak sering melukai ibu. Ibu yang berperawakan sabar tak pernah melawan, beliau hanya mampu terisak saat bapak kembali menampar pipinya. Sungguh pemandangan yang memilukkan buat kami berdua.

Adik  lelakiku yang masih berumur 7 tahun pun tak kuasa menahan tangis ketika melihat sisi lain dari bapak. Tampak wajahnya yang shock ketika melihat kejadian tadi sore. Aku berusaha mengajakknya keluar untuk menenangkan hatinya. Ali tampak diam saja, akupun tak banyak bicara karena kepikiran dengan keadaan ibu dirumah untung saja bapak selalu meninggalkan rumah kalau sudah puas menampar dan memukul ibu jadi aku tak perlu khawatir bapak berbuat yang lebih parah lagi.
Sudah dua minggu terakhir sikap bapak berubah, dari sosok seorang ayah yang penyayang dan taat beragama kini menjadi seorang yang sangat menakutkan bagi kami bertiga, akupun tak pernah lagi melihat bapak ke masjid dekat rumah. Ada apa dengan bapak? Mengapa beliau berubah? Apa keluarga kami sedang terlilit hutang sehingga membuat bapak frustasi? Ah,tidak mungkin! Setahuku bapak tak pernah berhutang, beliau takkan pernah meminjam uang kalau masih dalam keadaan yang mencukupi. Lantas kenapa bapak tiba tiba berubah?
“ Assalamu alaikum” dengan suara lirih aku dan Ali mebuka pintu rumah. Kulihat ibu sedang menyiapkan makan malam dengan wajah yang masih memerah dan mata yang sembap. Kasihan sekali beliau, aku tak kuasa menahan air mata dan berlari menuju kamar. “Ais, shalat magrib dulu baru makan” teriak ibu dari luar kamarku. Ah, ibu kau sengguh wanita yang tegar. Segera kulaksanakan perintah ibu dan tak lupa berdoa memanjatkan petunjuk dan perlindungan bagi ibu dan bapak. Hari itupun berlalu dengan ketegaran yang ditampakkan sseorang wanita yang kusebut ibu.
Sudah dua minggu bapak tidak pulang kerumah, ibu nampak sangat cemas dan khwatir. Beliau mencari kabar dari sanak keluarga dan teman teman bapak yang bisa dihubungi. Tapi tak seorang pun tahu dimana keberadaan bapak. Kembali aku melihat kesetiaan seorang istri terhadap suaminya. Dibalik kecemasannya ibu berusaha tegar di depan kami terutama didepan Ali yang masih kecil. Beliau ingin terlihat sebagai sosok ibu yang tegar di depan kami. Tapi jujur, itu mebuatku miris. Ibu masih setia dengan bapak yang sudah berubah dan sering menyakitinya. Siapa yang tahu kalau diluar sana bapak berbuat yang tidak tidak. Fikiran negatif selalu saja menghantuiku.
“ Kak, Ali kangen sama bapak! Bapak kemana?” Ali yang sedari tadi duduk disampingku memecah lamunanku. Sejenak kupandangi wajah Ali yang begitu serupa dengan bapak. Mungkin waktu kecil bapak mirip dengan Ali, aku tersenyum “Bapak mungkin cari uang buat Ali” jawabku singkat. Ali kemudian memelukku dan menangis. Kutahan air mata yang hendak mejebol pertahananku. Ah, sungguh polos anak ini! Aku tahu pasti Ali trauma melihat kejadian sore itu. Tak banyak yang bisa kulakukan untuk Ali, aku hanya mampu menghibur seadanya.
“Ali sudah tidur?” ibu yang tak kusadari kedatangannya mengagetkanku “Ah, ibu... iyya dia sudah dikamar bu. Ngomong ngomong sudah ketemu bapak dimana?” “Belum, tak ada yang tahu dimana keberadaan bapakmu, sudah sana tidur. Besok kan harus kesekolah” Ibu kemudian membelai rabut pendekku dan berlalu begitu saja. Aku masih duduk sambil memandangi ibu masuk kekamar. Sudah beberapa minggu ini ibu pulang larut malam, beliau masih saja sibuk mencari bapak yang tak tahu dimana keberadaannya. Sungguh kasihan wanita itu!
“Bu, Aisyah berangkat dulu. Asslamu alaikum” kami berdua menyalami tangan ibu sebelum berangkat kesekolah. Ali pun tampak lebih segar daripada hari kemarin. Aku tersenyum menggeggam tangannya. Kuharap semangat Ali dipagi ini tak pernah luntur lagi. Ibu masih memandangi kami dari beranda rumah saat aku menengok kearahnya. Ah, ada yang berbeda dipagi ini. Ibu tampak begitu cantik dengan semyumnya itu. Semoga saja senyum indahnya akan terus menemani pagiku sperti hari ini.
“Aisyah, ada telpon buat kamu” ibu Nur wali kelasku segera mengajakku keruang TU untuk menerima telpon. “Assalamu alaikum” aku agak ragu karena baru kali ini aku mendapat telpon. Ya Allah, sontak saja badanku gemetar dan seperti mati rasa. Tak kuasa menahan kaget mendengar suara dari telpon itu. Itu Bapak! Bapak menelponku dan menyuruhku pulang kerumah! Segera saja tanpa pikir panjang aku pulang dan tak lupa menjemput Ali sesuai perintah Bapak. Aku sangat senang sampai air mataku berjatuhan. Ali tampak heran, aku segera berlari menuju rumah. Ali yang sedari tadi terheran heran sangat kelelahan menyamakan langkahnya dengannku. “Kak ada apa?” tanya Ali yang sudah kehabisan nafas “Ada surprise buat Ali, pasti Ali akan senang” Ali makin bingung dengan ucapanku.
“Assalamu alaikum... bapak ibu” aku langsung berlari memasuki rumah. Tapi aku tak melihat sosok Bapak yang tadi berbicara di telpon denganku. Kulepas tangan Ali yang sedari tadi kugenggam, aku mulai panik dan perasaanku mulai campur aduk. Air mataku mulai mengalir aku berusaha mengatur nafas mencari disetiap sudut ruangan. Ali yang sedari tadi lepas dari pandanganku tiba tiba saja teriak. Ibbuuuuuu..... aku kaget segera kuhampiri Ali yang berada dikamar ibu. Ya Allah, aku langsung memeluk Ali yang sudah histeris! Ali menangis sejadi jadinya, aku berusaha menenangkan Ali dan juga berusaha menenangkan diriku yang tak kuasa melihat kondisi ibu. Ibu sudah terkapar di atas ranjang dengan bergelumuran darah. Suara tangisan Ali makin menjadi jadi dan tak bisa lagi kutenangkan karena kaupun ikut menangis.
Tetangga yang kaget segara melihat keadaan kami. Dan sangat kaget ketika melihat kondisi ibu yang tewas mengenaskan. Pak Amad segera mengajak kami keluar dan menenangkan kemi berdua. Sementara yang lain menelpon polisi dan menghubungi sanak keluarga kami. Aku tak sanggup melihat kondisi ibu, siapa yang tega melakukan ini? Ali begitu histeris melihat mayat ibu yang dibawah oleh pihak kepolisian. Pembunuhan telah terjadi dirumah kami, siapa yang melaukannya?
Jenazah ibupun dikebumikan, sungguh ini sangat diluar dugaanku! Kenapa ibu harus pergi dalam kondisi yang seperti ini? Ali masih sangat mebutuhkan ibu! Ali masih butuh ibu! Aku menagis terisak di atas pusara ibu. Ali terlihat lebih tegar dan kemudian memelukku. Adikku yang masih berumur 7 tahun terlihat lebih dewasa. Tapi itu hanya sekejap, Alipun menangis terisak. Tapi dimana bapak? Kemana bapak? Kenapa dia tak datang? Padahal bapak adalah orang yang terakhir kali menghubungiku dan menyuruhku pulang. Apa jangan jangan???? Ah, tidak mungkin! Segera kutepiskan pikiran negatif itu!
Sudah dua minggu semenjak ibu dikebumikan, tapi bapak belum juga ada kabarnya. Saat ini aku dan Ali tinggal di rumah nenek dan pindah sekolah. Ali tampak berubah derastis, akupun begitu. Kami masih berkabung. Ketegaran seorang kakak tak lagi kumiliki didepan Ali. Kami benar benar kehilangan sosok yang sangat kami cintai.
Pihak kepolisian yang menangani kasus pembunuhan ibu, meberikan kabar gembira. Mereka sudah berhasil menangkap pelaku pembunuhan. Kami semua lega, tapi perasaan lega itu sontak berubah! Bapak! Bapak! Bapak lah yang ternyata tega menghabisi nyawa ibu. Menghabisi nyawa istri yang begitu setia padanya! Luntur sudah kepercayaanku kepada sosok yang selalu kupanggil Bapak!  
“Maafkan bapak! Jaga adikmu Ali” kalimat terakhir yang terucap dari mulut laki laki itu ketika pihak kepolisian mempertemukan kami berdua atas permintaannya. Laki laki itu akhirnya harus mempertanggung jawabkan perbuatannya dibalik jeruji, tak ada lagi rasa kasihan dan belas kasih untuknya. Hanya kebencian yang ada dalam diriku saat ini. Diselimuti kebencian terhadap laki laki yang tega menghabisi nyawa ibu hanya karena godaan gadis muda yang tak ingin dimadu. Laki laki itupun tega menghabisi nyawa istrinya yang begitu setia hingga akhir hayatnya.
Aku dan Ali kini tinggal bersama nenek dan bersekolah di sekolah baru. Ali tampak berbeda, entah apa yang terjadi dalam dirinya. Kami berdua berjalan bergandengan tangan menusuri pinggiran jalan raya menuju sekolah. “Kak, Ali sayang Bapak!”  langkahkupun terhenti, Ali pun ikut berhenti. Ku pandangi wajah polosnya dan langsung saja air mataku mengalir dan kemudian aku memeluk Ali sambil terisak.  Entah apa yang ada dipikiran Ali saat itu, aku tak dapat membacanya. Tapi, dia begitu mirip dengan Bapak! Kupeluk Ali dengan erat! Adikku sayang, adikku yang sangat menyanyangi bapaknya!

Tidak ada komentar: